Kumpulan artikel tentang ekonomi dan ilmu ekonomi serta akuntansi dan manajemen

Kedudukan Wanita Sebelum Islam datang

Beginilah Wanita –> Sebelum Islam Datang
      Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang Allah ciptakan. Namun mereka tidak serta merta langsung diturunkan ke bumi melainkan diberi kenikmatan hidup di syurga oleh Allah SWT. Karena hasutan Iblis, Nabi Adam dan Hawa melanggar larangan Allah dengan memakan buah terlarang mereka diturunkan ke bumi. Nabi Adam memohon ampunan kepada Allah dan Allah mengampuni mereka namun mereka tidak dapat kembali ke syurga melainkan tetap tinggal di bumi. Dari Nabi Adam dan Hawa serta seiring dengan berjalannya waktu semakin banyaklah keturunan Nabi Adam dan Hawa yang kita kenal saat ini dengan manusia.
       Wanita dari dahulu sudah terkenal akan keindahan bahkan Baginda Rasulullah bersabda:
”Seluruh dunia ini adalah perhiasan dan perhiasan terbaik di dunia ini adalah wanita yang sholehah.” (HR. an-Nasa’I dan Ahmad).
       Namun apakah wanita sejak dahulu dianggap perhiasan oleh orang-orang sebelum Islam datang?
1.Bangsa Yunani
      Bangsa Yunani terkenal memiliki peradaban dan kebudayaan yang maju pada masanya. Sayangnya, sejumlah fakta mengungkap bahwa perempuan pada sistem kemasyarakatan bangsa Yunani tidak memiliki tempat yang layak. Bahkan kaum lelaki saat itu mempercayai bahwa perempuan merupakan sumber penyakit dan bencana. Sehingga mereka memposisikan perempuan sebagai makhluk yang rendah. Ini bisa dilihat ketika para lelaki menerima tamu, para perempuan saat itu hanya dijadikan pelayan dan budak semata. Bahkan, perempuan tidak boleh disejajarkan dalam satu meja makan dengan kaum pria.
       Beberapa perubahan yang terjadi seiring perjalanan waktu, tak banyak memberikan keuntungan bagi perempuan. Nafsu syahwat dijadikan dasar diberikannya kebebasan bagi kaum perempuan atau dengan kata lain kebebasan yang diberikan hanya sebatas kebebasan seksual semata. Maka tak heran bila pada zaman itu banyak perempuan yang menjadi pelacur.
       Perempuan pezina saat itu justru dianggap memiliki kedudukan yang tinggi. Para pemimpin Yunani berlomba-lomba untuk mendapatkan dan mendekati mereka. Perempuan saat itu, dipandang hanya sebagai komoditas yang bisa dikuasai oleh siapapun. Lelaki boleh memiliki dan menguasai perempuan tanpa melalui ikatan pernikahan yang suci.
       Kerendahan sikap masyarakat Yunani hingga merekayasa cerita yang bernuansa seksual. Salah satu kisah yang berkembang adalah cerita tentang Dewa Asmara Cupid yang merupakan hasil hubungan gelap Dewi Aphrodite dengan salah seorang manusia. Padahal, sang dewi merupakan istri dari salah satu dewa. Dari cerita seperti inilah, masyarakat Yunani tidak lagi peduli dan mengindahkan norma pernikahan.

2.Hindhu dan China
      Begitu pula Hindu dan China, mereka memperlakukan wanita dengan sadis dan memperihatinkan. Seorang istri harus rela di bakar-hidup hidup, sebagai bukti kesetiaan terhadap sang suami. Ternyata, ini masih di praktekan oleh sebagian rakyat India sampai saat ini.

3.Bangsa Arab Jahiliyah
       Kedudukan wanita di jaman jahiliah Kehidupan wanita di jaman jahilian yaitu di arab dan di dunia secara umum, adalah di dalam kehinaan dan kerendahan. Khususnya di bumi arab , para wanita dibenci kelahiran dan kehadirannya di dunia. Sehingga kelahiran bagi mereka, adalah awal dari kematian mereka. Para bayi wanita yang dilahirkan di masa itu segera di kubur hidup-hidup di bawah tanah. Kalaupun para wanita dibiarkan untuk terus hidup, mereka akan hidup dalam kehinaan dan tanpa kemuliaan. Ini firman Allah
       “Ketika bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh” (QS At Takwir : 8-9) Wanita yang sempat hidup dewasa mereka dilecehkan dan tidak memperoleh bagian dalam harta warisan. Mereka dijadikan sebagai alat pemuas nafsu para lelaki belaka. Yang ketika telah puas direguk, segera dibuang tak ada harga dan nilai. Di masa itu pula, para lelaki berhak menikahi banyak wanita tanpa batas, tidak mempedulikan akan keadilan dalam pernikahan.

4.Bangsa Romawi
       Kaum lelaki pada masa itu, memiliki hak mutlak terhadap keluarganya. Ia bebas melakukan apa saja terhadap istrinya, bahkan diperbolehkan membunuh istri mereka dalam keadaan tertentu. Meski peradaban Romawi mengalami perkembangan, namun tetap saja perempuan berada dalam posisi yang hina; sebagai pemuas nafsu lelaki saja. Meski perempuan mendapatkan kebebasan, bentuknya hanya sebatas bebas menikah dengan lelaki mana saja. Tak pelak bila perceraian pada masa itu jumlahnya sangat besar, ditemukan dalam banyak kasus penyebabnya sangat sepele.
       Sebuah fakta terungkap oleh Kardinal Gerum bahwa ada seorang perempuan yang tanpa merasa berdosa dan malu telah menikah untuk ke-23 kalinya. Di saat yang sama, ia menjadi istri ke-21 dari suaminya yang terakhir. Bentuk yang saat itu menjadi trend adalah pementasan teater dengan menampilkan perempuan telanjang sebagai obyek cerita. Selain itu, masyarakat itu juga memiliki tradisi mandi bersama, antara para lelaki dan perempuan di muka umum. Tentu saja, kedua kebiasaan itu mendudukkan posisi perempuan tidak pada tempat yang terhormat.

5.Peradaban Persia
     Persia merupakan koloni yang menetapkan hukum dan sistem sosial bagi wilayah jajahannya. Sayangnya, hukum yang mereka terapkan, tak memberikan keadilan bagi perempuan. Bila ada perempuan yang melakukan kesalahan –meskipun kecil- akan dihukum dengan berat. Bahkan bila ia mengulangi kesalahannya, tak segan hukuman mati akan dijatuhkan.
      Di negeri itu, seorang perempuan dilarang menikah dengan lelaki yang bukan penganut ajaran Zoroaster (agama kuno di Persia) sedangkan lelaki bebas bertindak sesuai dengan kehendaknya. Kehidupan perempuan menjadi terbelenggu. Tidak itu saja. Bila dalam keadaan haidh, maka mereka akan diisolasi ke tempat yang jauh di luar kota dan tak satu pun yang boleh bergaul dengan mereka, selain pelayan yang meletakkan makanan atau minuman untuknya.

6.Peradaban India
      Meski dikenal dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaannya, peradaban India menempatkan kaum perempuan pada derajat kehinaan. Pada umumnya, masyarakat India mempercayai bahwa perempuan merupakan sumber dosa, kerusakan akhlak dan pangkal kehancuran jiwa. Sehingga mereka tak memiliki hak-hak kebendaan dan warisan. Bahkan hak hidup mereka juga dicabut ketika suami mereka meninggal. Setiap perempuan harus dibakar hidup-hidup bersama mayat suaminya.
Kedudukan Wanita Sebelum Islam datang
Kedudukan Wanita Sebelum Islam datang

7.Umat Kristen
      Tak berbeda dengan peradaban lainnya. Pada zaman ini, syariat Nasrani telah diselewengkan sehingga mendudukkan perempuan dalam kerendahan dan tak sesuai dengan fitrahnya. Penyimpangan ini juga diafirmasi dengan pandangan bahwa perempuan merupakan sumber dosa dan kemaksiatan yang menyebabkan lelaki terjerumus dalam kedurhakaan. Menurut salah seorang pemimpin Kristen, Paus Tertulianus mengatakan, “Wanita adalah pintu masuknya setan ke dalam jiwa manusia. Dialah (Hawa) yang telah mendorong seorang (Adam) mendekati pohon larangan, perusak aturan Allah dan membuat buruk citra lelaki.”
     Para pendeta juga berpendapat bahwa hubungan seksual merupakan perbuatan kotor yang harus dihindari meski dengan cara yang halal melalui pernikahan. Dalam pandangan itu, hidup membujang merupakan puncak ketinggian akhlak seseorang sehingga banyak pendeta yang memilih jalan ini agar akhlak mereka tetap terpelihara. Ironinya, sejumlah fakta justru terkuak di kalangan gereja dengan mencuatnya kasus perzinahan, sodomi dan aborsi yang dilakukan para pendeta dan biarawati.

8.Umat Yahudi
      Pada bangsa Yahudi, perempuan selayaknya komoditas yang bisa diperjual-belikan di pasar. Sehingga, posisi kaum perempuan saat itu hanya sebatas pemuas nafsu kaum lelaki saja. Tak heran bila saat itu, merebak praktik pelacuran di tengah masyarakat. Lebih sesat lagi, masyarakat Yahudi kerap membalut praktik pelacuran dengan topeng ibadah. Mereka melakukan perzinahan di rumah ibadah dengan dalih untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
      Dengan dalih seperti itu, para pendeta Yahudi melakukan perzinahan untuk menghapus dosa mereka. Ini juga dilegalkan melalui kitab suci mereka yang telah diubah, bahwa Allah mengharamkan atas orang Yahudi berbuat zina dengan perempuan yang masih kerabatnya, namun diperbolehkan dengan perempuan di luar kerabatnya.
     Jadi begitulah keadaan perempuan sebelum Islam datang, hanya Islamlah yang meninggikan derajat wanita. Wanita itu adalah tiang negara maka jika ingin memajukan negara maka tinggikanlah wanita tetapi jika ingin menghancurkan negara maka hinakanlah wanita. Mengapa suatu negara bisa hancur hanya gara-gara menghinakan wanita? Sekolah pertama yang diterima anak adalah dari ibu maka jika akhlak ibu itu mulia maka akan menghasilkan anak-anak penerus negara yang mulia akhlaknya juga. Sebaliknya, ketika akhlak ibunya buruk maka akan menghasilkan anak-anak yang berakhlak buruk pula. Realita sekarang (akhir zaman) banyak hal yang terjadi sebelum Islam datang sama dengan ketika Islam telah datang. Dimana perzinaan ada dimana-mana, perempuan yang diperkosa, dibunuh, dan banyak pula terjadi kasus sodomi dan aborsi

Islâm Datang Memuliakan Wanita

Keberadaan Wanita Sebelum Islam
      Panjang sudah zaman yang dilalui umat manusia yang berdiam di bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala ini. Sekian waktu mereka lalui dalam memakmurkan bumi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memang menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi-Nya. Dia Yang Maha Tinggi berfirman kepada para malaikat-Nya sebagaimana diabadikan dalam Tanzil-Nya yang mulia:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Rabbmu berkata kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’.” (Al-Baqarah: 30)
      Manusia pun membangun kehidupan dan peradaban mereka, generasi demi generasi, silih berganti. Namun sejarah mencatat sisi gelap perlakuan mereka terhadap makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bernama wanita, padahal wanita merupakan bagian dari umat manusia.  Kesewenang-wenangan dan penindasan mewarnai hari-hari kaum wanita dalam kegelapan alam jahiliyyah, baik di kalangan bangsa Arab maupun di kalangan ajam (non Arab). Perlakuan jahat dan ketidaksukaan orang-orang jahiliyyah terhadap wanita ini diabadikan dalam Al-Qur’anul Karim.
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
“Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)
وَإِذَا الْمَوْءُوْدَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila anak perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh?” (At-Takwir: 8-9)
       Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan bahwa anak perempuan itu dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyyah karena tidak suka dengan anak perempuan. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/260)
      Apabila anak perempuan itu selamat dari tindakan tersebut dan tetap hidup maka ia hidup dalam keadaan dihinakan, ditindas dan didzalimi, tidak diberikan hak waris walaupun si wanita sangat butuh karena fakirnya. Bahkan justru ia menjadi salah satu benda warisan bagi anak laki-laki suaminya apabila suaminya meninggal dunia. Dan seorang pria dalam adat jahiliyyah berhak menikahi berapa pun wanita yang diinginkannya tanpa ada batasan dan tanpa memerhatikan hak-hak para istrinya. (Al-Mu`minat, hal. 11)
       Ini kenyataan yang didapatkan pada bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenyataan buruk yang sama juga terdapat pada bangsa ajam. Kita tengok perlakuan bangsa Yunani dan Romawi yang dulunya dikatakan telah memiliki “peradaban yang tinggi”. Mereka menempatkan wanita tidak lebih dari sekedar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran. Wanita di sisi mereka tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberi hak waris.
     Di Hindustan, wanita dianggap jelek, sepadan dengan kematian, neraka, racun dan api. Bila seorang suami meninggal dan jenazahnya diperabukan maka si istri yang jelas-jelas masih hidup harus ikut dibakar bersama jenazah suaminya.
     Bagi bangsa Yahudi, wanita adalah makhluk terlaknat karena sebabnyalah Nabi Adam melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga dikeluarkan dari surga. Sebagian golongan Yahudi menganggap ayah si wanita berhak memperjualbelikan putrinya.
     Wanita juga dihinakan oleh para pemeluk agama Nasrani. Sekitar abad ke-5 Masehi, para pemuka agama ini berkumpul untuk membahas masalah wanita; apakah wanita itu sekedar tubuh tanpa ruh di dalamnya, ataukah memiliki ruh sebagaimana lelaki? Keputusan akhir mereka menyatakan wanita itu tidak memiliki ruh yang selamat dari azab neraka Jahannam, kecuali Maryam ibu ‘Isa. (Al-Mar`ah fil Islam, hal. 10-12).

Kedudukan Wanita dalam Islam
     Islam datang dengan cahayanya yang menerangi dunia. Kedzaliman terhadap wanita pun terangkat. Islam menetapkan insaniyyah (kemanusiaan) seorang wanita layaknya seorang lelaki, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan…” (.Al-Hujurat: 13)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً
“Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu, kemudian Dia ciptakan dari jiwa yang satu itu pasangannya. Lalu dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)
Sebagaimana wanita berserikat dengan lelaki dalam memperoleh pahala dan hukuman atas amalan yang dilakukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ
“Siapa yang beramal shalih dari kalangan laki-laki ataupun perempuan sedangkan ia dalam keadaan beriman maka Kami akan menganugerahkan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan memberikan balasan pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (An-Nahl: 97)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِيُعَذِّبَ اللهُ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوْبَ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Agar Allah mengazab orang-orang munafik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan, dan orang-orang musyrik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Dan agar Allah mengampuni orang-orang yang beriman, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan…” (Al-Ahzab: 73)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan wanita dijadikan barang warisan sepeninggal suaminya.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
“Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kalian mewarisi para wanita secara paksa.” (An-Nisa`: 19)
Bahkan wanita dijadikan sebagai salah satu ahli waris dari harta kerabatnya yang meninggal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ
“Bagi para lelaki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya. Dan bagi para wanita ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)
Dalam masalah pernikahan, Allah Subhanahu wa Ta’ala membatasi laki-laki hanya boleh mengumpulkan empat istri, dengan syarat harus berlaku adil dengan sekuat kemampuannya di antara para istrinya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan bagi suami untuk bergaul dengan ma’ruf terhadap istrinya:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan bergaullah kalian dengan para istri dengan cara yang ma’ruf.” (An-Nisa`: 19)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan adanya mahar dalam pernikahan sebagai hak wanita yang harus diberikan secara sempurna kecuali bila si wanita merelakan dengan kelapangan hatinya. Dia Yang Maha Tinggi Sebutan-Nya berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
“Dan berikanlah mahar kepada para wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai sesuatu yang baik.” (An-Nisa`: 4)
Wanita pun dijadikan sebagai penanggung jawab dalam rumah tangga suaminya, sebagai pemimpin atas anak-anaknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan hal ini dalam sabdanya:
الْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ
“Wanita adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak suaminya, dan ia akan ditanya tentang mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (Al-Mukminat, hal. 12-14)
Wanita di hadapan Hukum Syariat
        Syariat Islam yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa wanita adalah insan yang mukallaf sebagaimana lelaki. Wanita wajib bersaksi tidak adanya sesembahan yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia harus menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan berhaji bila ada kemampuan. Ia wajib beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, beriman akan datangnya hari akhir dan beriman dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang baik ataupun yang buruk semuanya ditetapkan oleh-Nya. Wajib pula bagi wanita untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seakan-akan ia melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila tidak bisa menghadirkan yang seperti ini, maka ia harus yakin Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu melihatnya dalam seluruh keadaannya, ketika sendiri ataupun bersama orang banyak.
       Wanita juga harus melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar semampunya, melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Ia pun diperintah untuk berhias dengan akhlak mulia seperti jujur, amanah, dan adab-adab Islam lainnya.
      Pembebanan syariat atas wanita sebagaimana kepada lelaki ini tidak lain bertujuan untuk memuliakan wanita dan mengantarkannya kepada derajat keimanan yang lebih tinggi. Karena, pemberian beban syariat kepada seorang hamba hakikatnya adalah pemuliaan bagi si hamba, bila ia melaksanakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukankah di balik beban syariat itu ada pahala yang dijanjikan dan kenikmatan abadi yang menanti…?
     Perlu diketahui, sekalipun wanita memiliki kedudukan yang sama dengan lelaki dalam hukum syariat, namun ada beberapa kekhususan hukum yang diberikan kepada wanita. Di antaranya:
1. Wanita tidak diwajibkan mencari nafkah untuk keluarganya.
2. Dalam warisan, wanita memperoleh setengah dari bagian lelaki, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ
“Allah memberi wasiat kepada kalian tentang pembagian warisan bagi anak-anak kalian, yaitu anak laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian yang diperoleh dua anak perempuan.” (An-Nisa`: 11)
Pembagian seperti ini ditetapkan karena seorang lelaki memiliki kebutuhan untuk memberi nafkah, memikul beban, mencari rizki dan menanggung kesulitan, sehingga pantas sekali ia menerima bagian warisan dua kali lipat dari yang diperoleh wanita. Demikian dinyatakan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat di atas.
3. Wanita tidak boleh memimpin laki-laki, bahkan ia harus berada di bawah kepemimpinan lelaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum lelaki adalah pemimpin atas kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
        Al-Imam Al-Alusi rahimahullahu berkata: “….Terdapat riwayat yang menerangkan bahwa para wanita kurang akal dan agamanya, sedangkan lelaki sebaliknya. Hal ini sangatlah jelas. Karena itulah para lelaki mendapat kekhususan mengemban risalah kerasulan dan kenabian menurut pendapat yang paling masyhur. Mereka mengemban amanah imamatul kubra (kepemimpinan global) dan imamatus shughra (kepemimpinan nasional), menegakkan syiar-syiar Islam seperti adzan, iqamah, khutbah, shalat Jum’at, bertakbir pada hari-hari tasyrik -menurut pendapat guru kami yang mulia-. Demikian pula memutuskan perceraian dan pernikahan menurut pendapat madzhab Syafi’iyyah, memberikan kesaksian-kesaksian dalam perkara pokok, mendapat bagian yang lebih banyak dalam pembagian harta warisan dan berbagai permasalahan lainnya.” (Ruhul Ma’ani, 3/23)
      Ketika seorang wanita diangkat sebagai pemimpin oleh suatu kaum, maka mereka tidak akan beruntung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْ أَمْرَهُمُ امْرَأَةٌ
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang mereka menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari)
      Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti ini tatkala sampai berita kepada beliau bahwa penduduk Persia menobatkan Buran, putri Kisra, sebagai ratu mereka. Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata: “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tidak bolehnya seorang wanita memimpin sesuatu pun dari hukum-hukum yang bersifat umum di kalangan muslimin….” (Subulus Salam, 4/190)
      Demikianlah. Semua kekhususan yang ditentukan oleh Islam terhadap wanita bertujuan untuk menjaga agama, akal, nasab/keturunan, jiwa dan harta, di mana -menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu- bila kelima perkara ini terjaga niscaya akan terwujud kebaikan dunia dan akhirat. (Fathul Bari, 1/226)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Keutamaan Hijab Bagi Muslimah
     Keutamaan Hijab bagi MuslimahSebagaimana telah dibahas pada artikel sebelumnya tentang Kemuliaan Hijab, Maka kali ini merupakan sambungan dari artikel tersebut yaitu Beberapa Keutamaan Hijab Bagi Muslimah. Di balik hijab yang dikenakan seorang Muslimah, ternyata banyak tersimpan beragam kemuliaan dan tersembunyi berbagai keutamaan. Berikut penjelasannya:
1. Hijab atau jilbab merupakan manifestasi ketaatan kepada Alloh Subhanahuwata’ala dan Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam.
Alloh Subhanahuwata’ala telah mewajibkan ketaatan mutlak kepada-Nya dan Rosul-Nya Sholallohu’alaihi wa Sallam dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul-(Nya)….” (QS. an-Nisa’ [4]: 59)
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukminah, apa-bila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, maka sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. al-Ahzab [33]: 36)
Bahkan Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam telah memberikan peringatan kepada umatnya bahwa penyelisihan terhadap aturan-aturan yang telah beliau Sholallohu’alaihi wa Sallam sampaikan merupakan bencana besar bagi seseorang, karena tidak bisa memasuki surga Alloh Subhanahuwata’ala.
Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam bersabda:
(( كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ إلاَّ مَنْ أبَى، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أبَى ))
“Semua umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan dan menolak. Mereka bertanya: ‘Wahai Rosululloh, siapakah orang yang menolak tersebut? Beliau menjawab: ‘Barangsiapa yang taat kepadaku, ia akan masuk surga dan barangsiapa yang bermak-siat kepadaku, maka ia telah menolak.” (HR. al-Bukhari dan Ahmad)
Alloh Subhanahuwata’ala telah memerintahkan anak cucu Adam ‘Alaihi wa Sallam yang telah dimuliakan-Nya dengan menurunkan bagi me-reka pakaian untuk menutup aurat-aurat mereka.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutup aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Alloh, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. al-A’raf [7]: 26)
Dan Alloh Subhanahuwata’ala juga telah memerintahkan kepada kaum muslimah untuk menundukkan pandangan mereka sekaligus melarang mereka untuk memperlihatkan perhiasan yang mereka miliki baik berupa tubuh, pakaian maupun yang lainnya; kecuali yang biasa nampak dari mereka.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhias-annya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya….” (QS. an-Nur [24]: 31)
Bahkan Alloh Subhanahuwata’ala memerintahkan mereka untuk tinggal di rumah-rumah mereka sehingga perhiasan yang mereka miliki hanya dinikmati oleh orang-orang yang boleh me-mandangnya dan tidak diumbar di muka umum sebagai-mana yang dilakukan oleh wanita-wanita jahiliyah dahulu dan wanita yang merasa bahwa dengan mengumbar aurat di jalanan mereka telah melangkah lebih maju dari pada aturan yang ada dalam Islam dengan dalih bahwa perbuatan tersebut dikategorikan sebagai hal yang modern.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Dan hendaklah kalian tetap tinggal di rumah kalian dan janganlah kalian bersolek seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu….” (QS. al-Ahzab [33]: 33)
Hal ini merupakan bukti nyata atas perlindungan Islam terhadap kaum wanita yang menghendaki agar kesucian diri kaum Muslimah tetap aman terjaga dan tidak terkoyak, sehingga kesucian dirinya hanya dipersembahkan untuk para suami yang memilikinya melalui perjanjian yang kuat, yaitu melalui tali pernikahan.
Ketika Islam melihat realitas bahwa kehidupan sese-orang laki-laki maupun perempuan tidak akan terlepas dari kebutuhan mereka untuk berinteraksi dan berkomunikasi, memenuhi kebutuhan mereka di luar rumah; Islam membolehkan interaksi dan komunikasi di balik hijab antara dua orang yang bukan mahrom, karena hal ini lebih men-jaga kesucian jiwa bagi kedua belah pihak. Dan juga mengizinkan wanita keluar rumah sekedar untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“…apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) ke-pada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka….” (QS. al-Ahzab [33]: 53)
Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam bersabda:
(( قَدْ أُذِنَ أَنْ تَخْرُجْنَ فِي حَاجَتِكُنَّ ))
“Telah diizinkan bagi para wanita untuk keluar me-menuhi kebutuhannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
        Kondisi seorang wanita yang telah menjadi bagian dari kaum Muslimah, atau ia adalah seorang istri dari suami yang beriman, atau ia adalah seorang anak wanita dalam rumah tangga Islam; semuanya mendapatkan seruan untuk mengenakan hijab atau jilbabnya. Hal itu dilakukan untuk memberikan perlindungan lebih bagi mereka dari gangguan yang mengancam. Sehingga kalaupun seorang Muslimah harus keluar rumah, maka mereka akan merasa aman dan terlindungi.
       Inilah tujuan utama dan latar belakang dari pensyariatan hijab kepada setiap Muslimah.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu me-reka tidak diganggu….” (QS. al-Ahzab [33]: 59)
Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam bersabda:
(( إِنَّمَا النِّسَاءُ عَوْرَةٌ ))
“Sesungguhnya wanita adalah aurat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, ath-Thabrani dan al-Baihaqi dengan sanad hasan)
Maksudnya; ia harus menutupi tubuhnya, tidak membiarkannya terbuka atau tersingkap, terlebih bila sengaja disingkap atau dijajakan!
2.  Hijab adalah sarana untuk menggapai kesucian diri (‘iffah).
Alloh Subhanahuwata’ala menjadikan kewajiban mengenakan hijab se-bagai sarana bagi seorang Muslimah untuk mendapatkan kesucian diri (‘iffah).
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu me-reka tidak diganggu….” (QS. al-Ahzab [33]: 59)
Hal tersebut terealisasi karena mereka menutupi tubuh mereka untuk menghindari dan menahan diri dari perbuatan dosa, “karena itu mereka tidak diganggu”. Sehingga orang-orang fasik tidak akan berani mengganggu mereka.
Ungkapan“karena itu mereka tidak diganggu” adalah isyarat, bahwa mengetahui keindahan dan kemolekan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan, berupa fitnah dan sekaligus sebagai motivasi bagi orang yang ada penyakit dalam hatinya untuk berbuat jahat terhadap mereka.

Syarat Hijab Bagi Muslimah
Kesempurnaan manusia di hadapan Allah SWT dan sesama manusia meliputi aspek jasmani dan rohani, luar dan dalam, yang tampak dan tidak tampak. Jika demikian keadaannya, pakaian yang dikenakan pastilah memiliki peranan dalam menentukan sempurna tidaknya kualitas akhlak seseorang. Arti penting berpakaian dalam Islam dapat kita lihat dari penyebutan fungsi pakaian di dalam Al-Quran, antara lain sebagai berikut.
Pertama, sebagai penutupauratsekaligusperhiasan. Allah SWT berfirman, "Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat." (QS al Araf 17]: 26)

Kedua, sebagai pelindung dari sengatan panas dan dingin. Allah SWT berfirman,
pakaian bagimu yang memeliharamu dari panas " (QS an- Nahl f 161:81)
Ketiga, sebagai tanda atau identitas yang membedakannya dari golongan lain. Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS al-Ahzab [33]:59)
Arti penting berpakaian, khususnya pakaian yang memenuhi unsur kepantasan, kesopanan, dan keindahan, disebutkan pula di dalam banyak hadits Rasulullah saw. Jika dalam Al-Quran, pakaian disebutkan fungsinya secara global, di dalam hadits penyebutannya lebih terperinci, bukan pula sekadar fungsinya, melainkan juga kriteria pakaian yang harus dipenuhi oleh pemakainya. Beberapa di antaranya dapat kami sebutkan di sini.
Pakaian yang dipakai tidak menyerupai lawan jenis. Dari Ibnu Abbas bahwa ~>ulullah melaknat t mengutuk ) kaum laki laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria. (HR Bukhari) Hadits lain menyebutkan pula, " Tidak termasuk umat kami wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita:" (HR Ahmad)
Pakaian yang dipakai hendaknya menutupi seluruh tubuh. Dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda, Hai Asma, sesungguhnya perempuan itu apabila telah sampai umur (dewasa) maka tidak patut menampakkan sesuatu dari dirinya, melainkan ini dan ini. Rasulullah saw. berkata sambil menunjukkan kepada muka dan telapak tangan hingga pergelangannya sendiri." (HR Dawud) Dalam keterangan lain, Rasulullah pun bersabda, "Perempuan itu apabila telah cukup umurnya tidak boleh dilihat daripadanya, kecuali muka dan telapak tangannya hingga pergelangan." (HR Abu Dawud)
Pakaian yang dipakai tidak transparan, ketat, atau menampakkan lekak-lekuk tubuh sehingga dapat mengarah pada perbuatan zina, setidaknya zina mata bagi yang melihatnya. Rasulullah saw. bersabda, " Dua orang ahli neraka yang belum pernah aku lihat adalah kaum yang memegang pecut bagai ekor lembu digunakan untuk memukul orang (tanpa alasan). Dan orang perempuan yang berpakaian, tetapi telanjang (memakai busana transparan) bagaikan merayu-merayu, melenggak-lenggok membesarkan kondenya (cemara) bagaikan punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan dapat mencium wangi surga, sedangkan wangi surga itu dapat dicium dari ¡arak yang sangat jauh." (HR Tentang hal ini, Syekh Abdul Barr menjelaskan, "Yang dimaksud oleh Rasulullah saw. dengan busana tipis tersebut adalah busana yang tembus pandang, yaitu wanita yang sudah memakai pakaian, tetapi auratnya masih tampak.
Pakaian yang dikenakan tidak untuk berbangga diri dan riya. Rasulullah saw. bersabda," Barangsiapa yang mengenakan pakaian ketenaran di dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan pada hari kiamat(HR Ahmad)
Pakaian yang dipakai tidak mengandung unsur syirik dan penyerupaan kepada segala sesuatu yang diharamkan Allah SWT. Aisyah berkata, " Rasulullah SAW. tidak pernah membiarkan pakaian yang ada gambar salibnya, melainkan beliau menghapusnya." (HR Bukhari dan Ahmad)
Pakaian yang dipakai hendaknya bersih, indah, dan serasi. Rasulullah saw. bersabda, "Sesunggul ah Mahaindah dan (Dia) mencintai keindahan. (HR Muslim)
Dari sejumlah keterangan di atas, boleh jadi kita akan bertanya, seperti apakah h ijab yang Islami tersebut? Secara sederhana, pakaian yang Islami itu adalah pakaian yang bisa kita gunakan untuk shalat. Ketika hendak menunaikan shalat, kita diperintahkan untuk mengenakan pakaian yang memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain sebagai berikut.
Harus bersih dari najis.
Menutupi aurat, bagi wanita harus yang menutupi seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan.
Tidak transparan.
Tidak mengganggu orang lain, misalnya memuat gambar yang bisa merusak kekhusyukan orang lain.
Tidak menyerupai lawan jenis, bagi kaum laki-laki ada pakaiannya tersendiri, demikian pula bagi perempuan.
Tidak berasal dari zat yang diharamkan, baik haram zatnya maupun cara mendapatkannya.
Pakaian tersebut sudah memenuhi kriteria h i j a b yang disebutkan dalam Al-Quran, yaitu menutupi bagian dada dan "perhiasan" wanita, kecuali yang biasa tampak daripadanya. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang biasa tampak tersebut adalah muka dan telapak tangan karena seluruh tubuh wanita adalah aurat yang wajib ditutup.
Apabila syarat-syarat ini terpenuhi, dalam kondisi darurat pakaian tersebut boleh dipakai untuk shalat. Pakaian yang memenuhi syaratsahnyashalatpun, secara tidak langsungtelah memenuhi fungsi-fungsi dari sebuah pakaian, baik sebagai fungsi pembeda (diferensiasi), fungsi pemandu perilaku, fungsi emosi, fungsi perlindungan, fungsi estetika, alat untuk menutup aurat, sekaligus sebagai sarana ibadah dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah pakaian Islami yang lebih dekat pada ketakwaan dan keridhaan Allah SWT.
Dalam hal ini, agama tidak membatasi model rancangan, bahan baku, maupun warna yang dipakai dalam busana muslimah. Pembatasannya adalah selama itu semua tidak membawa mudarat dan tidak melanggar aturan yang telah digariskan Allah dan Rasul-Nya, kita dipersilahkan untuk berkreasi dan memakainya.
Dikutip dari : The Power of Hijabers
Penerbit : Tinta Mediana
Penulis : Tauhid Nur Azhar
Beginilah Wanita –> Sebelum Islam Datang
Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang Allah ciptakan. Namun mereka tidak serta merta langsung diturunkan ke bumi melainkan diberi kenikmatan hidup di syurga oleh Allah SWT. Karena hasutan Iblis, Nabi Adam dan Hawa melanggar larangan Allah dengan memakan buah terlarang mereka diturunkan ke bumi. Nabi Adam memohon ampunan kepada Allah dan Allah mengampuni mereka namun mereka tidak dapat kembali ke syurga melainkan tetap tinggal di bumi. Dari Nabi Adam dan Hawa serta seiring dengan berjalannya waktu semakin banyaklah keturunan Nabi Adam dan Hawa yang kita kenal saat ini dengan manusia.
Wanita dari dahulu sudah terkenal akan keindahan bahkan Baginda Rasulullah bersabda:
”Seluruh dunia ini adalah perhiasan dan perhiasan terbaik di dunia ini adalah wanita yang sholehah.” (HR. an-Nasa’I dan Ahmad).
Namun apakah wanita sejak dahulu dianggap perhiasan oleh orang-orang sebelum Islam datang?
1.Bangsa Yunani
Bangsa Yunani terkenal memiliki peradaban dan kebudayaan yang maju pada masanya. Sayangnya, sejumlah fakta mengungkap bahwa perempuan pada sistem kemasyarakatan bangsa Yunani tidak memiliki tempat yang layak. Bahkan kaum lelaki saat itu mempercayai bahwa perempuan merupakan sumber penyakit dan bencana. Sehingga mereka memposisikan perempuan sebagai makhluk yang rendah. Ini bisa dilihat ketika para lelaki menerima tamu, para perempuan saat itu hanya dijadikan pelayan dan budak semata. Bahkan, perempuan tidak boleh disejajarkan dalam satu meja makan dengan kaum pria.
Beberapa perubahan yang terjadi seiring perjalanan waktu, tak banyak memberikan keuntungan bagi perempuan. Nafsu syahwat dijadikan dasar diberikannya kebebasan bagi kaum perempuan atau dengan kata lain kebebasan yang diberikan hanya sebatas kebebasan seksual semata. Maka tak heran bila pada zaman itu banyak perempuan yang menjadi pelacur.
Perempuan pezina saat itu justru dianggap memiliki kedudukan yang tinggi. Para pemimpin Yunani berlomba-lomba untuk mendapatkan dan mendekati mereka. Perempuan saat itu, dipandang hanya sebagai komoditas yang bisa dikuasai oleh siapapun. Lelaki boleh memiliki dan menguasai perempuan tanpa melalui ikatan pernikahan yang suci.
Kerendahan sikap masyarakat Yunani hingga merekayasa cerita yang bernuansa seksual. Salah satu kisah yang berkembang adalah cerita tentang Dewa Asmara Cupid yang merupakan hasil hubungan gelap Dewi Aphrodite dengan salah seorang manusia. Padahal, sang dewi merupakan istri dari salah satu dewa. Dari cerita seperti inilah, masyarakat Yunani tidak lagi peduli dan mengindahkan norma pernikahan.
2.Hindhu dan China
Begitu pula Hindu dan China, mereka memperlakukan wanita dengan sadis dan memperihatinkan. Seorang istri harus rela di bakar-hidup hidup, sebagai bukti kesetiaan terhadap sang suami. Ternyata, ini masih di praktekan oleh sebagian rakyat India sampai saat ini.
3.Bangsa Arab Jahiliyah
Kedudukan wanita di jaman jahiliah Kehidupan wanita di jaman jahilian yaitu di arab dan di dunia secara umum, adalah di dalam kehinaan dan kerendahan. Khususnya di bumi arab , para wanita dibenci kelahiran dan kehadirannya di dunia. Sehingga kelahiran bagi mereka, adalah awal dari kematian mereka. Para bayi wanita yang dilahirkan di masa itu segera di kubur hidup-hidup di bawah tanah. Kalaupun para wanita dibiarkan untuk terus hidup, mereka akan hidup dalam kehinaan dan tanpa kemuliaan. Ini firman Allah
“Ketika bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh” (QS At Takwir : 8-9) Wanita yang sempat hidup dewasa mereka dilecehkan dan tidak memperoleh bagian dalam harta warisan. Mereka dijadikan sebagai alat pemuas nafsu para lelaki belaka. Yang ketika telah puas direguk, segera dibuang tak ada harga dan nilai. Di masa itu pula, para lelaki berhak menikahi banyak wanita tanpa batas, tidak mempedulikan akan keadilan dalam pernikahan.
4.Bangsa Romawi
Kaum lelaki pada masa itu, memiliki hak mutlak terhadap keluarganya. Ia bebas melakukan apa saja terhadap istrinya, bahkan diperbolehkan membunuh istri mereka dalam keadaan tertentu. Meski peradaban Romawi mengalami perkembangan, namun tetap saja perempuan berada dalam posisi yang hina; sebagai pemuas nafsu lelaki saja. Meski perempuan mendapatkan kebebasan, bentuknya hanya sebatas bebas menikah dengan lelaki mana saja. Tak pelak bila perceraian pada masa itu jumlahnya sangat besar, ditemukan dalam banyak kasus penyebabnya sangat sepele.
Sebuah fakta terungkap oleh Kardinal Gerum bahwa ada seorang perempuan yang tanpa merasa berdosa dan malu telah menikah untuk ke-23 kalinya. Di saat yang sama, ia menjadi istri ke-21 dari suaminya yang terakhir. Bentuk yang saat itu menjadi trend adalah pementasan teater dengan menampilkan perempuan telanjang sebagai obyek cerita. Selain itu, masyarakat itu juga memiliki tradisi mandi bersama, antara para lelaki dan perempuan di muka umum. Tentu saja, kedua kebiasaan itu mendudukkan posisi perempuan tidak pada tempat yang terhormat.
5.Peradaban Persia
Persia merupakan koloni yang menetapkan hukum dan sistem sosial bagi wilayah jajahannya. Sayangnya, hukum yang mereka terapkan, tak memberikan keadilan bagi perempuan. Bila ada perempuan yang melakukan kesalahan –meskipun kecil- akan dihukum dengan berat. Bahkan bila ia mengulangi kesalahannya, tak segan hukuman mati akan dijatuhkan.
Di negeri itu, seorang perempuan dilarang menikah dengan lelaki yang bukan penganut ajaran Zoroaster (agama kuno di Persia) sedangkan lelaki bebas bertindak sesuai dengan kehendaknya. Kehidupan perempuan menjadi terbelenggu. Tidak itu saja. Bila dalam keadaan haidh, maka mereka akan diisolasi ke tempat yang jauh di luar kota dan tak satu pun yang boleh bergaul dengan mereka, selain pelayan yang meletakkan makanan atau minuman untuknya.
6.Peradaban India
Meski dikenal dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaannya, peradaban India menempatkan kaum perempuan pada derajat kehinaan. Pada umumnya, masyarakat India mempercayai bahwa perempuan merupakan sumber dosa, kerusakan akhlak dan pangkal kehancuran jiwa. Sehingga mereka tak memiliki hak-hak kebendaan dan warisan. Bahkan hak hidup mereka juga dicabut ketika suami mereka meninggal. Setiap perempuan harus dibakar hidup-hidup bersama mayat suaminya.
7.Umat Kristen
Tak berbeda dengan peradaban lainnya. Pada zaman ini, syariat Nasrani telah diselewengkan sehingga mendudukkan perempuan dalam kerendahan dan tak sesuai dengan fitrahnya. Penyimpangan ini juga diafirmasi dengan pandangan bahwa perempuan merupakan sumber dosa dan kemaksiatan yang menyebabkan lelaki terjerumus dalam kedurhakaan. Menurut salah seorang pemimpin Kristen, Paus Tertulianus mengatakan, “Wanita adalah pintu masuknya setan ke dalam jiwa manusia. Dialah (Hawa) yang telah mendorong seorang (Adam) mendekati pohon larangan, perusak aturan Allah dan membuat buruk citra lelaki.”
Para pendeta juga berpendapat bahwa hubungan seksual merupakan perbuatan kotor yang harus dihindari meski dengan cara yang halal melalui pernikahan. Dalam pandangan itu, hidup membujang merupakan puncak ketinggian akhlak seseorang sehingga banyak pendeta yang memilih jalan ini agar akhlak mereka tetap terpelihara. Ironinya, sejumlah fakta justru terkuak di kalangan gereja dengan mencuatnya kasus perzinahan, sodomi dan aborsi yang dilakukan para pendeta dan biarawati.
8.Umat Yahudi
Pada bangsa Yahudi, perempuan selayaknya komoditas yang bisa diperjual-belikan di pasar. Sehingga, posisi kaum perempuan saat itu hanya sebatas pemuas nafsu kaum lelaki saja. Tak heran bila saat itu, merebak praktik pelacuran di tengah masyarakat. Lebih sesat lagi, masyarakat Yahudi kerap membalut praktik pelacuran dengan topeng ibadah. Mereka melakukan perzinahan di rumah ibadah dengan dalih untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dengan dalih seperti itu, para pendeta Yahudi melakukan perzinahan untuk menghapus dosa mereka. Ini juga dilegalkan melalui kitab suci mereka yang telah diubah, bahwa Allah mengharamkan atas orang Yahudi berbuat zina dengan perempuan yang masih kerabatnya, namun diperbolehkan dengan perempuan di luar kerabatnya.
Jadi begitulah keadaan perempuan sebelum Islam datang, hanya Islamlah yang meninggikan derajat wanita. Wanita itu adalah tiang negara maka jika ingin memajukan negara maka tinggikanlah wanita tetapi jika ingin menghancurkan negara maka hinakanlah wanita. Mengapa suatu negara bisa hancur hanya gara-gara menghinakan wanita? Sekolah pertama yang diterima anak adalah dari ibu maka jika akhlak ibu itu mulia maka akan menghasilkan anak-anak penerus negara yang mulia akhlaknya juga. Sebaliknya, ketika akhlak ibunya buruk maka akan menghasilkan anak-anak yang berakhlak buruk pula. Realita sekarang (akhir zaman) banyak hal yang terjadi sebelum Islam datang sama dengan ketika Islam telah datang. Dimana perzinaan ada dimana-mana, perempuan yang diperkosa, dibunuh, dan banyak pula terjadi kasus sodomi dan aborsi







Islâm Datang Memuliakan Wanita
Penulis: Al-Ustâdzah Ummu Ishâq Al-Atsariyyah
Keberadaan Wanita Sebelum Islam
Panjang sudah zaman yang dilalui umat manusia yang berdiam di bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala ini. Sekian waktu mereka lalui dalam memakmurkan bumi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memang menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi-Nya. Dia Yang Maha Tinggi berfirman kepada para malaikat-Nya sebagaimana diabadikan dalam Tanzil-Nya yang mulia:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Rabbmu berkata kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’.” (Al-Baqarah: 30)
Manusia pun membangun kehidupan dan peradaban mereka, generasi demi generasi, silih berganti. Namun sejarah mencatat sisi gelap perlakuan mereka terhadap makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bernama wanita, padahal wanita merupakan bagian dari umat manusia.  Kesewenang-wenangan dan penindasan mewarnai hari-hari kaum wanita dalam kegelapan alam jahiliyyah, baik di kalangan bangsa Arab maupun di kalangan ajam (non Arab). Perlakuan jahat dan ketidaksukaan orang-orang jahiliyyah terhadap wanita ini diabadikan dalam Al-Qur’anul Karim.
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
“Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)
وَإِذَا الْمَوْءُوْدَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila anak perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh?” (At-Takwir: 8-9)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan bahwa anak perempuan itu dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyyah karena tidak suka dengan anak perempuan. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/260)
Apabila anak perempuan itu selamat dari tindakan tersebut dan tetap hidup maka ia hidup dalam keadaan dihinakan, ditindas dan didzalimi, tidak diberikan hak waris walaupun si wanita sangat butuh karena fakirnya. Bahkan justru ia menjadi salah satu benda warisan bagi anak laki-laki suaminya apabila suaminya meninggal dunia. Dan seorang pria dalam adat jahiliyyah berhak menikahi berapa pun wanita yang diinginkannya tanpa ada batasan dan tanpa memerhatikan hak-hak para istrinya. (Al-Mu`minat, hal. 11)
Ini kenyataan yang didapatkan pada bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenyataan buruk yang sama juga terdapat pada bangsa ajam. Kita tengok perlakuan bangsa Yunani dan Romawi yang dulunya dikatakan telah memiliki “peradaban yang tinggi”. Mereka menempatkan wanita tidak lebih dari sekedar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran. Wanita di sisi mereka tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberi hak waris.
Di Hindustan, wanita dianggap jelek, sepadan dengan kematian, neraka, racun dan api. Bila seorang suami meninggal dan jenazahnya diperabukan maka si istri yang jelas-jelas masih hidup harus ikut dibakar bersama jenazah suaminya.
Bagi bangsa Yahudi, wanita adalah makhluk terlaknat karena sebabnyalah Nabi Adam melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga dikeluarkan dari surga. Sebagian golongan Yahudi menganggap ayah si wanita berhak memperjualbelikan putrinya.
Wanita juga dihinakan oleh para pemeluk agama Nasrani. Sekitar abad ke-5 Masehi, para pemuka agama ini berkumpul untuk membahas masalah wanita; apakah wanita itu sekedar tubuh tanpa ruh di dalamnya, ataukah memiliki ruh sebagaimana lelaki? Keputusan akhir mereka menyatakan wanita itu tidak memiliki ruh yang selamat dari azab neraka Jahannam, kecuali Maryam ibu ‘Isa. (Al-Mar`ah fil Islam, hal. 10-12).

Kedudukan Wanita dalam Islam
Islam datang dengan cahayanya yang menerangi dunia. Kedzaliman terhadap wanita pun terangkat. Islam menetapkan insaniyyah (kemanusiaan) seorang wanita layaknya seorang lelaki, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan…” (.Al-Hujurat: 13)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً
“Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu, kemudian Dia ciptakan dari jiwa yang satu itu pasangannya. Lalu dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)
Sebagaimana wanita berserikat dengan lelaki dalam memperoleh pahala dan hukuman atas amalan yang dilakukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ
“Siapa yang beramal shalih dari kalangan laki-laki ataupun perempuan sedangkan ia dalam keadaan beriman maka Kami akan menganugerahkan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan memberikan balasan pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (An-Nahl: 97)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِيُعَذِّبَ اللهُ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوْبَ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Agar Allah mengazab orang-orang munafik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan, dan orang-orang musyrik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Dan agar Allah mengampuni orang-orang yang beriman, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan…” (Al-Ahzab: 73)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan wanita dijadikan barang warisan sepeninggal suaminya.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
“Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kalian mewarisi para wanita secara paksa.” (An-Nisa`: 19)
Bahkan wanita dijadikan sebagai salah satu ahli waris dari harta kerabatnya yang meninggal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ
“Bagi para lelaki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya. Dan bagi para wanita ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)
Dalam masalah pernikahan, Allah Subhanahu wa Ta’ala membatasi laki-laki hanya boleh mengumpulkan empat istri, dengan syarat harus berlaku adil dengan sekuat kemampuannya di antara para istrinya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan bagi suami untuk bergaul dengan ma’ruf terhadap istrinya:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan bergaullah kalian dengan para istri dengan cara yang ma’ruf.” (An-Nisa`: 19)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan adanya mahar dalam pernikahan sebagai hak wanita yang harus diberikan secara sempurna kecuali bila si wanita merelakan dengan kelapangan hatinya. Dia Yang Maha Tinggi Sebutan-Nya berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
“Dan berikanlah mahar kepada para wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai sesuatu yang baik.” (An-Nisa`: 4)
Wanita pun dijadikan sebagai penanggung jawab dalam rumah tangga suaminya, sebagai pemimpin atas anak-anaknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan hal ini dalam sabdanya:
الْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ
“Wanita adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak suaminya, dan ia akan ditanya tentang mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (Al-Mukminat, hal. 12-14)
Wanita di hadapan Hukum Syariat
Syariat Islam yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa wanita adalah insan yang mukallaf sebagaimana lelaki. Wanita wajib bersaksi tidak adanya sesembahan yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia harus menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan berhaji bila ada kemampuan. Ia wajib beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, beriman akan datangnya hari akhir dan beriman dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang baik ataupun yang buruk semuanya ditetapkan oleh-Nya. Wajib pula bagi wanita untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seakan-akan ia melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila tidak bisa menghadirkan yang seperti ini, maka ia harus yakin Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu melihatnya dalam seluruh keadaannya, ketika sendiri ataupun bersama orang banyak.
Wanita juga harus melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar semampunya, melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Ia pun diperintah untuk berhias dengan akhlak mulia seperti jujur, amanah, dan adab-adab Islam lainnya.
Pembebanan syariat atas wanita sebagaimana kepada lelaki ini tidak lain bertujuan untuk memuliakan wanita dan mengantarkannya kepada derajat keimanan yang lebih tinggi. Karena, pemberian beban syariat kepada seorang hamba hakikatnya adalah pemuliaan bagi si hamba, bila ia melaksanakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukankah di balik beban syariat itu ada pahala yang dijanjikan dan kenikmatan abadi yang menanti…?
Perlu diketahui, sekalipun wanita memiliki kedudukan yang sama dengan lelaki dalam hukum syariat, namun ada beberapa kekhususan hukum yang diberikan kepada wanita. Di antaranya:
1. Wanita tidak diwajibkan mencari nafkah untuk keluarganya.
2. Dalam warisan, wanita memperoleh setengah dari bagian lelaki, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ
“Allah memberi wasiat kepada kalian tentang pembagian warisan bagi anak-anak kalian, yaitu anak laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian yang diperoleh dua anak perempuan.” (An-Nisa`: 11)
Pembagian seperti ini ditetapkan karena seorang lelaki memiliki kebutuhan untuk memberi nafkah, memikul beban, mencari rizki dan menanggung kesulitan, sehingga pantas sekali ia menerima bagian warisan dua kali lipat dari yang diperoleh wanita. Demikian dinyatakan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat di atas.
3. Wanita tidak boleh memimpin laki-laki, bahkan ia harus berada di bawah kepemimpinan lelaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum lelaki adalah pemimpin atas kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
Al-Imam Al-Alusi rahimahullahu berkata: “….Terdapat riwayat yang menerangkan bahwa para wanita kurang akal dan agamanya, sedangkan lelaki sebaliknya. Hal ini sangatlah jelas. Karena itulah para lelaki mendapat kekhususan mengemban risalah kerasulan dan kenabian menurut pendapat yang paling masyhur. Mereka mengemban amanah imamatul kubra (kepemimpinan global) dan imamatus shughra (kepemimpinan nasional), menegakkan syiar-syiar Islam seperti adzan, iqamah, khutbah, shalat Jum’at, bertakbir pada hari-hari tasyrik -menurut pendapat guru kami yang mulia-. Demikian pula memutuskan perceraian dan pernikahan menurut pendapat madzhab Syafi’iyyah, memberikan kesaksian-kesaksian dalam perkara pokok, mendapat bagian yang lebih banyak dalam pembagian harta warisan dan berbagai permasalahan lainnya.” (Ruhul Ma’ani, 3/23)
Ketika seorang wanita diangkat sebagai pemimpin oleh suatu kaum, maka mereka tidak akan beruntung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْ أَمْرَهُمُ امْرَأَةٌ
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang mereka menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti ini tatkala sampai berita kepada beliau bahwa penduduk Persia menobatkan Buran, putri Kisra, sebagai ratu mereka. Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata: “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tidak bolehnya seorang wanita memimpin sesuatu pun dari hukum-hukum yang bersifat umum di kalangan muslimin….” (Subulus Salam, 4/190)
Demikianlah. Semua kekhususan yang ditentukan oleh Islam terhadap wanita bertujuan untuk menjaga agama, akal, nasab/keturunan, jiwa dan harta, di mana -menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu- bila kelima perkara ini terjaga niscaya akan terwujud kebaikan dunia dan akhirat. (Fathul Bari, 1/226)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=436)

Keutamaan Hijab Bagi Muslimah
Keutamaan Hijab bagi MuslimahSebagaimana telah dibahas pada artikel sebelumnya tentang Kemuliaan Hijab, Maka kali ini merupakan sambungan dari artikel tersebut yaitu Beberapa Keutamaan Hijab Bagi Muslimah. Di balik hijab yang dikenakan seorang Muslimah, ternyata banyak tersimpan beragam kemuliaan dan tersembunyi berbagai keutamaan. Berikut penjelasannya:
1. Hijab atau jilbab merupakan manifestasi ketaatan kepada Alloh Subhanahuwata’ala dan Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam.
Alloh Subhanahuwata’ala telah mewajibkan ketaatan mutlak kepada-Nya dan Rosul-Nya Sholallohu’alaihi wa Sallam dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul-(Nya)….” (QS. an-Nisa’ [4]: 59)
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukminah, apa-bila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, maka sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. al-Ahzab [33]: 36)
Bahkan Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam telah memberikan peringatan kepada umatnya bahwa penyelisihan terhadap aturan-aturan yang telah beliau Sholallohu’alaihi wa Sallam sampaikan merupakan bencana besar bagi seseorang, karena tidak bisa memasuki surga Alloh Subhanahuwata’ala.
Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam bersabda:
(( كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ إلاَّ مَنْ أبَى، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أبَى ))
“Semua umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan dan menolak. Mereka bertanya: ‘Wahai Rosululloh, siapakah orang yang menolak tersebut? Beliau menjawab: ‘Barangsiapa yang taat kepadaku, ia akan masuk surga dan barangsiapa yang bermak-siat kepadaku, maka ia telah menolak.” (HR. al-Bukhari dan Ahmad)
Alloh Subhanahuwata’ala telah memerintahkan anak cucu Adam ‘Alaihi wa Sallam yang telah dimuliakan-Nya dengan menurunkan bagi me-reka pakaian untuk menutup aurat-aurat mereka.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutup aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Alloh, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. al-A’raf [7]: 26)
Dan Alloh Subhanahuwata’ala juga telah memerintahkan kepada kaum muslimah untuk menundukkan pandangan mereka sekaligus melarang mereka untuk memperlihatkan perhiasan yang mereka miliki baik berupa tubuh, pakaian maupun yang lainnya; kecuali yang biasa nampak dari mereka.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhias-annya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya….” (QS. an-Nur [24]: 31)
Bahkan Alloh Subhanahuwata’ala memerintahkan mereka untuk tinggal di rumah-rumah mereka sehingga perhiasan yang mereka miliki hanya dinikmati oleh orang-orang yang boleh me-mandangnya dan tidak diumbar di muka umum sebagai-mana yang dilakukan oleh wanita-wanita jahiliyah dahulu dan wanita yang merasa bahwa dengan mengumbar aurat di jalanan mereka telah melangkah lebih maju dari pada aturan yang ada dalam Islam dengan dalih bahwa perbuatan tersebut dikategorikan sebagai hal yang modern.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Dan hendaklah kalian tetap tinggal di rumah kalian dan janganlah kalian bersolek seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu….” (QS. al-Ahzab [33]: 33)
Hal ini merupakan bukti nyata atas perlindungan Islam terhadap kaum wanita yang menghendaki agar kesucian diri kaum Muslimah tetap aman terjaga dan tidak terkoyak, sehingga kesucian dirinya hanya dipersembahkan untuk para suami yang memilikinya melalui perjanjian yang kuat, yaitu melalui tali pernikahan.
Ketika Islam melihat realitas bahwa kehidupan sese-orang laki-laki maupun perempuan tidak akan terlepas dari kebutuhan mereka untuk berinteraksi dan berkomunikasi, memenuhi kebutuhan mereka di luar rumah; Islam membolehkan interaksi dan komunikasi di balik hijab antara dua orang yang bukan mahrom, karena hal ini lebih men-jaga kesucian jiwa bagi kedua belah pihak. Dan juga mengizinkan wanita keluar rumah sekedar untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“…apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) ke-pada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka….” (QS. al-Ahzab [33]: 53)
Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam bersabda:
(( قَدْ أُذِنَ أَنْ تَخْرُجْنَ فِي حَاجَتِكُنَّ ))
“Telah diizinkan bagi para wanita untuk keluar me-menuhi kebutuhannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
        Kondisi seorang wanita yang telah menjadi bagian dari kaum Muslimah, atau ia adalah seorang istri dari suami yang beriman, atau ia adalah seorang anak wanita dalam rumah tangga Islam; semuanya mendapatkan seruan untuk mengenakan hijab atau jilbabnya. Hal itu dilakukan untuk memberikan perlindungan lebih bagi mereka dari gangguan yang mengancam. Sehingga kalaupun seorang Muslimah harus keluar rumah, maka mereka akan merasa aman dan terlindungi.
       Inilah tujuan utama dan latar belakang dari pensyariatan hijab kepada setiap Muslimah.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu me-reka tidak diganggu….” (QS. al-Ahzab [33]: 59)
Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam bersabda:
(( إِنَّمَا النِّسَاءُ عَوْرَةٌ ))
“Sesungguhnya wanita adalah aurat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, ath-Thabrani dan al-Baihaqi dengan sanad hasan)
Maksudnya; ia harus menutupi tubuhnya, tidak membiarkannya terbuka atau tersingkap, terlebih bila sengaja disingkap atau dijajakan!
2.  Hijab adalah sarana untuk menggapai kesucian diri (‘iffah).
Alloh Subhanahuwata’ala menjadikan kewajiban mengenakan hijab se-bagai sarana bagi seorang Muslimah untuk mendapatkan kesucian diri (‘iffah).
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu me-reka tidak diganggu….” (QS. al-Ahzab [33]: 59)
Hal tersebut terealisasi karena mereka menutupi tubuh mereka untuk menghindari dan menahan diri dari perbuatan dosa, “karena itu mereka tidak diganggu”. Sehingga orang-orang fasik tidak akan berani mengganggu mereka.
Ungkapan“karena itu mereka tidak diganggu” adalah isyarat, bahwa mengetahui keindahan dan kemolekan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan, berupa fitnah dan sekaligus sebagai motivasi bagi orang yang ada penyakit dalam hatinya untuk berbuat jahat terhadap mereka.

Syarat Hijab Bagi Muslimah
Kesempurnaan manusia di hadapan Allah SWT dan sesama manusia meliputi aspek jasmani dan rohani, luar dan dalam, yang tampak dan tidak tampak. Jika demikian keadaannya, pakaian yang dikenakan pastilah memiliki peranan dalam menentukan sempurna tidaknya kualitas akhlak seseorang. Arti penting berpakaian dalam Islam dapat kita lihat dari penyebutan fungsi pakaian di dalam Al-Quran, antara lain sebagai berikut.
Pertama, sebagai penutupauratsekaligusperhiasan. Allah SWT berfirman, "Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat." (QS al Araf 17]: 26)

Kedua, sebagai pelindung dari sengatan panas dan dingin. Allah SWT berfirman,
pakaian bagimu yang memeliharamu dari panas " (QS an- Nahl f 161:81)
Ketiga, sebagai tanda atau identitas yang membedakannya dari golongan lain. Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS al-Ahzab [33]:59)
Arti penting berpakaian, khususnya pakaian yang memenuhi unsur kepantasan, kesopanan, dan keindahan, disebutkan pula di dalam banyak hadits Rasulullah saw. Jika dalam Al-Quran, pakaian disebutkan fungsinya secara global, di dalam hadits penyebutannya lebih terperinci, bukan pula sekadar fungsinya, melainkan juga kriteria pakaian yang harus dipenuhi oleh pemakainya. Beberapa di antaranya dapat kami sebutkan di sini.
Pakaian yang dipakai tidak menyerupai lawan jenis. Dari Ibnu Abbas bahwa ~>ulullah melaknat t mengutuk ) kaum laki laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria. (HR Bukhari) Hadits lain menyebutkan pula, " Tidak termasuk umat kami wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita:" (HR Ahmad)
Pakaian yang dipakai hendaknya menutupi seluruh tubuh. Dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda, Hai Asma, sesungguhnya perempuan itu apabila telah sampai umur (dewasa) maka tidak patut menampakkan sesuatu dari dirinya, melainkan ini dan ini. Rasulullah saw. berkata sambil menunjukkan kepada muka dan telapak tangan hingga pergelangannya sendiri." (HR Dawud) Dalam keterangan lain, Rasulullah pun bersabda, "Perempuan itu apabila telah cukup umurnya tidak boleh dilihat daripadanya, kecuali muka dan telapak tangannya hingga pergelangan." (HR Abu Dawud)
Pakaian yang dipakai tidak transparan, ketat, atau menampakkan lekak-lekuk tubuh sehingga dapat mengarah pada perbuatan zina, setidaknya zina mata bagi yang melihatnya. Rasulullah saw. bersabda, " Dua orang ahli neraka yang belum pernah aku lihat adalah kaum yang memegang pecut bagai ekor lembu digunakan untuk memukul orang (tanpa alasan). Dan orang perempuan yang berpakaian, tetapi telanjang (memakai busana transparan) bagaikan merayu-merayu, melenggak-lenggok membesarkan kondenya (cemara) bagaikan punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan dapat mencium wangi surga, sedangkan wangi surga itu dapat dicium dari ¡arak yang sangat jauh." (HR Tentang hal ini, Syekh Abdul Barr menjelaskan, "Yang dimaksud oleh Rasulullah saw. dengan busana tipis tersebut adalah busana yang tembus pandang, yaitu wanita yang sudah memakai pakaian, tetapi auratnya masih tampak.
Pakaian yang dikenakan tidak untuk berbangga diri dan riya. Rasulullah saw. bersabda," Barangsiapa yang mengenakan pakaian ketenaran di dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan pada hari kiamat(HR Ahmad)
Pakaian yang dipakai tidak mengandung unsur syirik dan penyerupaan kepada segala sesuatu yang diharamkan Allah SWT. Aisyah berkata, " Rasulullah SAW. tidak pernah membiarkan pakaian yang ada gambar salibnya, melainkan beliau menghapusnya." (HR Bukhari dan Ahmad)
Pakaian yang dipakai hendaknya bersih, indah, dan serasi. Rasulullah saw. bersabda, "Sesunggul ah Mahaindah dan (Dia) mencintai keindahan. (HR Muslim)
Dari sejumlah keterangan di atas, boleh jadi kita akan bertanya, seperti apakah h ijab yang Islami tersebut? Secara sederhana, pakaian yang Islami itu adalah pakaian yang bisa kita gunakan untuk shalat. Ketika hendak menunaikan shalat, kita diperintahkan untuk mengenakan pakaian yang memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain sebagai berikut.
Harus bersih dari najis.
Menutupi aurat, bagi wanita harus yang menutupi seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan.
Tidak transparan.
Tidak mengganggu orang lain, misalnya memuat gambar yang bisa merusak kekhusyukan orang lain.
Tidak menyerupai lawan jenis, bagi kaum laki-laki ada pakaiannya tersendiri, demikian pula bagi perempuan.
Tidak berasal dari zat yang diharamkan, baik haram zatnya maupun cara mendapatkannya.
Pakaian tersebut sudah memenuhi kriteria h i j a b yang disebutkan dalam Al-Quran, yaitu menutupi bagian dada dan "perhiasan" wanita, kecuali yang biasa tampak daripadanya. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang biasa tampak tersebut adalah muka dan telapak tangan karena seluruh tubuh wanita adalah aurat yang wajib ditutup.
Apabila syarat-syarat ini terpenuhi, dalam kondisi darurat pakaian tersebut boleh dipakai untuk shalat. Pakaian yang memenuhi syaratsahnyashalatpun, secara tidak langsungtelah memenuhi fungsi-fungsi dari sebuah pakaian, baik sebagai fungsi pembeda (diferensiasi), fungsi pemandu perilaku, fungsi emosi, fungsi perlindungan, fungsi estetika, alat untuk menutup aurat, sekaligus sebagai sarana ibadah dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah pakaian Islami yang lebih dekat pada ketakwaan dan keridhaan Allah SWT.
Dalam hal ini, agama tidak membatasi model rancangan, bahan baku, maupun warna yang dipakai dalam busana muslimah. Pembatasannya adalah selama itu semua tidak membawa mudarat dan tidak melanggar aturan yang telah digariskan Allah dan Rasul-Nya, kita dipersilahkan untuk berkreasi dan memakainya.
Dikutip dari : The Power of Hijabers
Penerbit : Tinta Mediana
Penulis : Tauhid Nur Azhar

Kedudukan Wanita Sebelum Islam datang Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Ekawati Zainuddin

0 komentar:

Post a Comment