Hai teman-teman, kali ini saya akan membahas mengenai Sejarah Perkembangan Dunia Usaha dan Kewirausahaan. Pembahasan mengenai Sejarah Perkembangan Dunia Usaha dan Kewirausahaan yaitu sebagai berikut:
Menurut fakta sejarah, sejak ratusan tahun lalu sebagian besar atau mayoritas masyarakat Indonesia hidup dari pertanian. Hanya mereka yang hidup di daerah pantai sering terlibat dengan perdagangan kecil-kecilan dan belum pernah memasuki tingkat perdagangan internasional dengan ukuran skala ekonomis. Menurut mereka bahwa pada zaman dahulu para pedagang Indonesia telah aktif berdagang rempah-rempah sampai Gujarat, Teluk Arab, dan Madagaskar. Namun, kalau dikaji secara teliti berdagang rempah-rempah sampai Gujarat, Teluk Arab, dan Madagaskar. Namun, kalau dikaji secara teliti kegiatan perdagangan ini lebih mengarah pada kegiatan petualangan tanpa kesinambungan bisnis dalam ukuran dagang modern. Kegiatan ini pun terbatas pada beberapa suku tertentu penghuni pantai laut Jawa, Bugis, pantai Barat Sumatera, dan Aceh. Fakta ini, secara umum kurang berarti dalam kehidupan ekonomi Indonesia.
Kemudian, Indonesia didatangi orang Portugis, disusul Kongsi Dagang Belanda (VOC), dan penjajahan Belanda, Inggris, serta Jepang yang semakin melumpuhkan kegiatan dunia usaha orang Indonesia baik yang menyangkut perdagangan lokal, antarpulau, maupun perdagangan Internasional. Keadaan ini semakin parah lagi dengan kebijakan Belanda memakai orang Cina sebagai pedagang perantara demi memudahkan penjajahan Belanda di Indonesia.
a. Faktor Geografis dan Budaya
Kalau kita sejenak meneropong tata budaya Indonesia, terutama suku Jawa, akan tampak jelas bahwa nilai-nilai utama kehidupan ditujukan untuk hal sakral dan yang berhubungan dengan kekuasaan serta seakan menganaktirikan nilai-nilia profan termasuk kegiatan dunia usaha dan perdagangan. Hal ini disokong pula oleh faktor geografis dan kesuburan tanah Indonesia pada zaman dahulu.
Rata-rata mereka yang ada di daerah tropis dengan kekayaan alam dan keramahan iklim dapat hidup dan menghidupi diri dengan mudah tanpa bekerja keras dan melawan kekejaman iklim seperti di belahan bumi Utara dab Selatan. Di Eropa umpamanya, pada saat musim dingin penduduk tidak dapat bercocok tanam, mau tidak mau mereka harus berencana dan bekerja lebih keras. Bahkan, binatang di Eropa pun untuk dapat bertahan hidup selama musim dingin harus juga mempunyai rencana, yaitu mengumpulkan bahan makanan di musim panas untuk persediaan musim dingin. Keadaan alam yang keras telah memaksa masyarakat bekerja lebih keras dan berencana. Itu berarti mereka harus memutar otak dan berdisiplin.
Penggambaran contoh di atas tidak berarti mau memudahkan persoalan bahwa kita di Indonesia ditakdirkan tidak begitu akrab dengan kehidupan dunia usaha modern dan oleh karena itu, dipersilakan hidup abadi dalam usaha pertanian seperti nenek moyang kita dahulu.
Secara alamiah dan arena tuntutan sejarah modern, pertambahan penduduk, kemajuan komunikasi, dan teknologi menurut kita untuk ikut aktif berusaha agar sejajar dengan penduduk negara lain. Kita tidak dapat mengisolasi diri lagi. Suka tidak suka Indonesia telah terbaur dengan kehidupan dunia internaisonal. Kalau tidak aktif berusaha, negara kita akan menjadi negara kelas dua, dan menjadi jajahan negara lain dalam arti ekonomis.
Persoalannya sekarang ini ialah, di mana posisi kita, mengapa kita perlu memasuki dunia kewirausahaan, yang mantap di masa kini dan akan datang, termasuk di dalamnya pengembangan dan perluasan perusahaan kecil di seluruh Indonesia.
b. Kewirausahaan di Indonesia
Pada dasarnya, seorang wirausaha atau wiraswasta harus mampu melihat suatu peluang dan memanfaatkannya untuk mencapai keuntungan atau manfaat bagi dirinya dan dunia sekelilingnya serta kelanjutan usahanya. Mereka harus mampu mengambil risiko dengan mengadakan pembaruan (innovation). Wirausaha harus pandai melihat ke depan dengan mengambil pelajaran dari pengalaman di waktu yang lampau, ditambah dengan kemampuan menerima serta memanfaatkan realitas atau kenyataan yang ada di sekelilingnya. Realitas ini bukan saja di bidang ekonomi, akan tetapi mencakup juga bidang sosial, pendidikan, bahkan agama. Mereka harus mampu mengoordinasi dan mendayagunakan kekuatan modal, teknologi, dan tenaga ahli untuk mencapai tujuan secara harmonis. Singkatnya, mereka harus seorang manajer dan menggunakan manajemen untuk mencapai tujuan. Secara terperinci yang menjadi dorongan ke wirausahaan yaitu:
Kebuuhan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik (berprestasi).
1. Kebutuhan akan ketidaktergantungan atau kebebasan.
2. Kebutuhan akan pembaruan.
3. Mencapai tingkat pendapatan yang lebih baik.
4. Kemampuan menyekolahkan anak dan menyejahterakan keluarga.
Dari ciri-ciri tersebut dapat kita uji seberapa jauh hal tersebut sejalan dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di Indonesia. Pada umumnya, fakor penghambat atau pendorong, pertumbuhan wirausaha biasanya dibagi tiga kategori besar, yaitu:
1. Ukuran nilai sosiokultur yang berlaku di masyarakat. Ukuran baik dan buruk di masyarakat.
2. Kehidupan ekonomi seperti kebijakan pemerintah, praktik bisnis, struktur pasar, dan
3. Keadaan dunia pendidikan.
Kalau ketiga kategori di atas kita tinjau secara terperinci maka dalam praktik terdapat situasi yang cenderung ke arah hambatan ketimbang dorongan. Coba bayangkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat tradisional, ambil contoh di Jawa. Pada umumnya, masyarakat tidak begitu merstui ciri-ciri kewirausahaan seperti di atas. Masyarakat pada umumnya, masih bersifat homogen dan tergantung pada orang tua, keluarga, dan kampung halaman. Masyarakat kurang atau tidak merestui orang yang suka menonjol, ambisius, dan individualis, seperti pengusaha. Sikap musyawarah yang berlebihan dan tatanan adat yang ketat mengutanakan mereka yang dituakan, namun pengusaha karang mendapat kedudukan terhormat di masyarakat.
Sikap dan nilai tersebut terlihat lebih nyata lagi di mana orang tua tidak begitu merestui anaknya memasuki dunia dagang. Berdagang dianggap erat hubungannya dengan tipu-menipu, mau menang sendiri, dan lain sebagainya. Hampir semua keluarga menghendaki atau bercita-cita agar anaknya masuk perguruan tinggi kemudian bertitel, jadi pamong, dan berpangkat. Jarang anak terpintar dari satu keluarga didorong untuk memasuki pendidikan kejuruan yang mengarah dunia usaha seperti SMEA, dan STM. Bahkan, mereka yang menjadi pengusaha pun berbuat demikian, artinya mereka tidak mendorong anaknya masuk sekolah yang menjurus ke dunia usaha seperti SMEA, dan Akademi Perusahaan. Mereka yang kurang mampu juga kurang berminat menyekolahkan anaknya ke sekolah kejuruan.
Dari segi kehidupan ekonomi keadaan di Indonesia hingga 1945 kurang menguntungkan karena:
Kemudian, Indonesia didatangi orang Portugis, disusul Kongsi Dagang Belanda (VOC), dan penjajahan Belanda, Inggris, serta Jepang yang semakin melumpuhkan kegiatan dunia usaha orang Indonesia baik yang menyangkut perdagangan lokal, antarpulau, maupun perdagangan Internasional. Keadaan ini semakin parah lagi dengan kebijakan Belanda memakai orang Cina sebagai pedagang perantara demi memudahkan penjajahan Belanda di Indonesia.
a. Faktor Geografis dan Budaya
Kalau kita sejenak meneropong tata budaya Indonesia, terutama suku Jawa, akan tampak jelas bahwa nilai-nilai utama kehidupan ditujukan untuk hal sakral dan yang berhubungan dengan kekuasaan serta seakan menganaktirikan nilai-nilia profan termasuk kegiatan dunia usaha dan perdagangan. Hal ini disokong pula oleh faktor geografis dan kesuburan tanah Indonesia pada zaman dahulu.
Rata-rata mereka yang ada di daerah tropis dengan kekayaan alam dan keramahan iklim dapat hidup dan menghidupi diri dengan mudah tanpa bekerja keras dan melawan kekejaman iklim seperti di belahan bumi Utara dab Selatan. Di Eropa umpamanya, pada saat musim dingin penduduk tidak dapat bercocok tanam, mau tidak mau mereka harus berencana dan bekerja lebih keras. Bahkan, binatang di Eropa pun untuk dapat bertahan hidup selama musim dingin harus juga mempunyai rencana, yaitu mengumpulkan bahan makanan di musim panas untuk persediaan musim dingin. Keadaan alam yang keras telah memaksa masyarakat bekerja lebih keras dan berencana. Itu berarti mereka harus memutar otak dan berdisiplin.
Penggambaran contoh di atas tidak berarti mau memudahkan persoalan bahwa kita di Indonesia ditakdirkan tidak begitu akrab dengan kehidupan dunia usaha modern dan oleh karena itu, dipersilakan hidup abadi dalam usaha pertanian seperti nenek moyang kita dahulu.
Secara alamiah dan arena tuntutan sejarah modern, pertambahan penduduk, kemajuan komunikasi, dan teknologi menurut kita untuk ikut aktif berusaha agar sejajar dengan penduduk negara lain. Kita tidak dapat mengisolasi diri lagi. Suka tidak suka Indonesia telah terbaur dengan kehidupan dunia internaisonal. Kalau tidak aktif berusaha, negara kita akan menjadi negara kelas dua, dan menjadi jajahan negara lain dalam arti ekonomis.
Persoalannya sekarang ini ialah, di mana posisi kita, mengapa kita perlu memasuki dunia kewirausahaan, yang mantap di masa kini dan akan datang, termasuk di dalamnya pengembangan dan perluasan perusahaan kecil di seluruh Indonesia.
b. Kewirausahaan di Indonesia
Pada dasarnya, seorang wirausaha atau wiraswasta harus mampu melihat suatu peluang dan memanfaatkannya untuk mencapai keuntungan atau manfaat bagi dirinya dan dunia sekelilingnya serta kelanjutan usahanya. Mereka harus mampu mengambil risiko dengan mengadakan pembaruan (innovation). Wirausaha harus pandai melihat ke depan dengan mengambil pelajaran dari pengalaman di waktu yang lampau, ditambah dengan kemampuan menerima serta memanfaatkan realitas atau kenyataan yang ada di sekelilingnya. Realitas ini bukan saja di bidang ekonomi, akan tetapi mencakup juga bidang sosial, pendidikan, bahkan agama. Mereka harus mampu mengoordinasi dan mendayagunakan kekuatan modal, teknologi, dan tenaga ahli untuk mencapai tujuan secara harmonis. Singkatnya, mereka harus seorang manajer dan menggunakan manajemen untuk mencapai tujuan. Secara terperinci yang menjadi dorongan ke wirausahaan yaitu:
Kebuuhan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik (berprestasi).
1. Kebutuhan akan ketidaktergantungan atau kebebasan.
2. Kebutuhan akan pembaruan.
3. Mencapai tingkat pendapatan yang lebih baik.
4. Kemampuan menyekolahkan anak dan menyejahterakan keluarga.
Dari ciri-ciri tersebut dapat kita uji seberapa jauh hal tersebut sejalan dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di Indonesia. Pada umumnya, fakor penghambat atau pendorong, pertumbuhan wirausaha biasanya dibagi tiga kategori besar, yaitu:
1. Ukuran nilai sosiokultur yang berlaku di masyarakat. Ukuran baik dan buruk di masyarakat.
2. Kehidupan ekonomi seperti kebijakan pemerintah, praktik bisnis, struktur pasar, dan
3. Keadaan dunia pendidikan.
Kalau ketiga kategori di atas kita tinjau secara terperinci maka dalam praktik terdapat situasi yang cenderung ke arah hambatan ketimbang dorongan. Coba bayangkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat tradisional, ambil contoh di Jawa. Pada umumnya, masyarakat tidak begitu merstui ciri-ciri kewirausahaan seperti di atas. Masyarakat pada umumnya, masih bersifat homogen dan tergantung pada orang tua, keluarga, dan kampung halaman. Masyarakat kurang atau tidak merestui orang yang suka menonjol, ambisius, dan individualis, seperti pengusaha. Sikap musyawarah yang berlebihan dan tatanan adat yang ketat mengutanakan mereka yang dituakan, namun pengusaha karang mendapat kedudukan terhormat di masyarakat.
Sikap dan nilai tersebut terlihat lebih nyata lagi di mana orang tua tidak begitu merestui anaknya memasuki dunia dagang. Berdagang dianggap erat hubungannya dengan tipu-menipu, mau menang sendiri, dan lain sebagainya. Hampir semua keluarga menghendaki atau bercita-cita agar anaknya masuk perguruan tinggi kemudian bertitel, jadi pamong, dan berpangkat. Jarang anak terpintar dari satu keluarga didorong untuk memasuki pendidikan kejuruan yang mengarah dunia usaha seperti SMEA, dan STM. Bahkan, mereka yang menjadi pengusaha pun berbuat demikian, artinya mereka tidak mendorong anaknya masuk sekolah yang menjurus ke dunia usaha seperti SMEA, dan Akademi Perusahaan. Mereka yang kurang mampu juga kurang berminat menyekolahkan anaknya ke sekolah kejuruan.
Dari segi kehidupan ekonomi keadaan di Indonesia hingga 1945 kurang menguntungkan karena:
- Monopoli kekuasaan di perusahaan Belanda.
- Kedudukan istimewa keturunan Cina di dunia usaha.
- Luas pasar yang terbatas.
- Kurangnya komunikasi.
- Kebijakan penjajah Belanda yang tidak mendorong lahirnya perundang-undangan dan ketentuan yang memberi dorongan munculnya para pengusaha dan wirausaha di kalangan rakyat Indonesia.
- pengeluaran lisensi istimewa
- memberi kemudahan mendirikan perusahaan, mendapat izin impor ekspor, dan lain-lain
- kemudahan mendapat kredit
- propaganda pembentukan koperasi, dekret ekonomi, dan pembuatan beberapa peraturan atau undang-undang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional
- pendirian dan pembukaan sekolah kejuruan dan kursus di bidang usaha sebagai sarana penunjang.
- membuka atas ekonomi perdagangan di pusat-pusat perdagangan dunia.
- kurangnya kesadaran dan dukungan masyarakat.
- kurangnya pengalaman pemerintah dan masyarakat.
- keadaan politik dan pembinaan bangsa, karena adanya pemberontakan dan ketidakstabilan politik. Hampir semua dana dan kemampuan (fund&force) pemerintah dalam periode 1945-1965 ditujukan untuk membina dan menjaga kesatuan persatuan bangsa.
Di bidang pendidikan persoalannya ternyata lebih rumit dan jelimet serta menjadi untaian mata rantai yang paling lemah dalam pembinaan dan pertumbuhan dunia wirausaha di Indonesia selama ini. Di zaman penjajahan hampir tidak ada sekolah atau perguruan tinggi yang mendorong timbulnya wirausaha. Setelah kemerdekaan, sekolah kejuruan baru seperti STM, SMEA, sekolah kejuruan lain dan beberapa Akademi dibangun, tetapi kurang berhasil karena kekurangan guru, siswa yang berbakat, pengalaman berikut hambatan struktur nilai di masyarakat, maupun karena peraturan atau ketentuan pemerintah yang simpang siur.
Kelemahan dunia pendidikan ini lebih terasa lagi dengan belum adanya pola kurikulum yang jelas dan pengarahan terhadap mereka yang lulus sekolah kejuruan. Alasan kekurangan guru, minat masyarakat, dan pengalaman juga ikut menghambat. Hal ini berbeda dengan kenyataan yang ditemui di Jerman Barat, Belanda, Jepang, dan negara kapitalis lainnya dari dahulu hingga sekarang. Di negara-negara maju ini peranan dan proporsi sekolah kejuruan sangat dominan dan meliputi hampir 60% dari jumlah sekolah yang ada.
Di samping hambatan struktural di atas, kita juga menemukan adanya hambatan sistem sosial yang dapat dikategorikan dalam hambatan budaya seperti:
- Anggapan masyarakat yang rendah terhadap kegiatan dunia usaha.
- Sikap yang kompromistis dan kurang ambisius serta senang tergantung.
- Keluarga besar kerabat besar.
- Tidak berani mengambil risiko dan lebih suka akan hasil cepat.
- Nepotisme (mendahulukan perusahaan keluarga).
- Feodalisme dan semangat priayi.
- Kurang modal.
- Kurang bimbingan pemerintah.
- Dominasi orang Cina.
- Dominasi konglomerat.
- Dominasi modal kuat, dan dominasi modal asing.
Sejarah Perkembangan Dunia Usaha dan Kewirausahaan |
Padahal, kalau kita teliti lebih mendalam, alasan utama kegagalan mereka ialah terutama karena kurangnya pengalaman, latar belakang pendidikan yang tak memadai, hambatan nilai di masyarakat, dan struktur ekonomi yang belum cocok dengan kondisi dunia modern.
Demikian pembahasan mengenai Sejarah Perkembangan Dunia Usaha dan Kewirausahaan. Semoga memberikan manfaat bagi pembaca sekalian.
0 komentar:
Post a Comment