Hai teman-teman, kali ini saya akan membahas mengenai Pertumbuhan dan perkembangan Koperasi pada Kurun Waktu 1959-1965. Untuk lebih jelasnya pembahasan mengenai Pertumbuhan dan Perkembangan Koperasi pada Kurun Waktu 1959-1965 akan di bahas yaitu sebagai berikut :
Akibat liberalisme yang akarnya makin hari makin kuat, pergulatan partai-partai politik baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah semakin seru pula, jatuh-menjatuhkan sebagai akibat persaingan sudah menjadi kebiasaan. Terhadap gerakan-gerakan koperasi cenderung telah terjadi pula usaha-usaha mempolitisasi oleh partai-partai politik, sehingga aktivitas perkoperasian sering menjadi lumpuh karenanya.
Keadaan demikian telah menimbulkan instabilitas pemerintahan dan roda kehidupan masyarakat, dalam waktu dekat kabinet menjadi demisioner sedang untuk menyusun kabinet baru kadang-kadang memakan waktu yang lama karena terjadinya perdagangan sapi, rebut-merebut, tawar-menawar kursi dalam kabinet baru yang akan dibentuk. Konstituante pun yang ditugaskan membentuk Undang-Undang Dasar baru sama sekali mengalami kemacetan total, sehingga pada akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit (5 Juli 1959) untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.
Kembalinya kita ke Undang-Undang Dasar 1945 mendapat sambutan kegembiraan dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, karena UUD 1945-lah yang sangat cocok sebagai dasar hidup bangsa Indonesia, UUD 1945 sejalan dengan kepribadian bangsa Indonesia, dalam mana Pancasila merupakan dasar dari segala ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945. Dengan kembalinya ke UUD 1945 musyawarah dan mufakat akan diutamakan kembali sehingga persatuan dan kesatuan bangsa dapat terjamin dengan baik, yang merupakan potensi yang besar dan kuat untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang menyeluruh berdasarkan Pancasila.
Suatu hal yang sangat disayangkan bahwa Presiden Soekarno telah melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaannya di luar kemurnian UUD 1945. Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin yang seharusnya terpimpin oleh Pancasila, pengertiannya berubah menjadi terpimpin oleh garis-garis pemikiran pribadi Bung Karno, yang akibatnya banyak menjurus ke arah diktatorisme ataupun otokrasi. Manipol-USDEK buah pemikiran Presiden Soekarno harus dijadikan garis-garis besar dari haluan negara sehingga seluruh kehidupan politik dan perekonomian berarti harus tunduk kepada buah pemikiran seseorang, bukan kepada hasil musyawarah dan mufakat para wakil rakyat yang menjunjung tinggi Pancasila.
Khusus bagi gerakan koperasi hal ini berarti penyewelengan yang jauh dari jiwa koperasi, urusan intern perkumpulan koperasi semakin banyak dicampuri pemerintah, kebebasan koperasi untuk mengambil keputusan-keputusan menjadi sangat terbatas.
Dalam kabinet yang dibentuk setelah keluarnya Dekrit Presiden (Kabinet Presidentil) kedudukan Jawatan koperasi ditingkatkan menjadi Departemen Koperasi yang pada mulanya dipimpin oleh Menteri Muda dan selanjutnya oleh Menteri. Beberapa Peraturan Pemerintah, Keputusan Pemerintah dan Instruksi Presiden mulai mewarnai perkoperasian di negara kita sesuai dengan warna pemikiran pribadi Bung Karno selaku Presiden yang telah menyimpang dari kemurnian UUD 1945, dan sebagai akibatnya terasa sekali telah mematikan inisiatif gerakan koperasi.
a. Peraturan Pemerintah (PP) no. 60 Tahun 1959:
Merupakan peraturan peralihan sebelum dicabutnya UU Koperasi Tahun 1958, no. 79 dan agar gerakan koperasi dapat disesuaikan dengan irama revolusi pada saat itu (Manipol selanjutnya disusul dengan Nasakom). Bab I, Bagian I dan Pasal 1, ketentuan tentang pengertian koperasi masih tetap seperti yang tercantum dalam UU Koperasi Tahun 1958, no. 79. Bab III dan IV, tentang peranan pemerintah dalam pembinaan perkumpulan koperasi, tentang hal ini kalau dilihat sepintas lalu seakan-akan menguntungkan gerakan koperasi, tetapi apabila didalami secara teliti akan memberi kesimpulan bahwa pemerintah memperoleh kekuasaan seluas-luasnya untuk mencampuri lebih dalam lagi urusan intern koperasi, akibat inilah maka inisiatif akan mati.
Selanjutnya untuk merumuskan pola perkoperasian sehubungan dengan PP no. 60 Tahun 1959 itu, pada tanggal 25 sampai tanggal 28 Mei 1960 di Jakarta telah dilangsungkan Musyawarah Kerja Koperasi, dalam mana telah diputuskan beberapa diktum yang berciri pada pola pemikiran Bung Karno seperti diterangkan di atas, antara lain:
- menjadikan Manipol-USDEK sebagai landasan idiil koperasi, dengan demikian maka koperasi dalam pelaksanaan tugas dan tindakan-tindakan selanjutnya harus mengikuti garis-garis yang dikehendaki Bung Karno yang telah lebih condong kepada gerakan koperasi di negara-negara komunis, prinsip-prinsip koperasi menurut Rochdale terpaksa harus ditanggalkan.
- pelaksanaan ekonomi terpimpin merupakan fungsi koperasi, yang berarti dikuasainya secara ketat perkoperasian tersebut oleh pemerintah yang telah menyimpang dari kemurnian UUD 1945.
b. Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1960:
Sehubungan dengan Instruksi Presiden ini, untuk mempercepat perkembangan koperasi, telah dibentuk BAPENGKOP (Badan Penggerak Koperasi), beranggotakan para petugas pemerintah. Untuk mengadakan perimbangan dengan kecepatan laju perkoperasian tersebut pemerintah menjadikannya sebagai penyalur bahan-bahan pokok dengan harga yang jauh lebih rendah daripada harga pasar.
Perlakuan pemerintah terhadap koperasi seperti di atas memang maksudnya baik agar para anggota koperasi dan juga masyarakat dapat dengan mudah dan murah memperoleh barang-barang yang diperlukannya. Tetapi perlakuan demikian lebih baik dan sangat tepat apabila negara dalam keadaan genting, seperti halnya pada revolusi fisik sewaktu Belanda melakukan blokade ekonomi terhadap negara kita.
Bagi koperasi perlakuan seperti di atas telah memberinya kekuatan untuk hidup dan kemampuan bersaing dengan perusahaan swasta, tetapi ditinjau dari segi kemampuan usaha yang sesungguhnya merupakan suatu perjuangan, maka perlakuan pemerintah seperti di atas selain mematikan inisiatif koperasi, juga tidak membawa perbaikan terhadap mentalitas berkoperasi, dapat menimbulkan penyewelengan-penyelewengan dalam tubuh koperasi seperti halnya membelokkan bahan-bahan pokok tersebut ke pasar yang dapat menjualkan secara bebas dan harga yang lebih menguntungkan demi untuk memperkaya diri oknum-oknum yang bersangkutan. Cara lain dalam pembelokkan itu, ada yang secara sengaja menukarkan bahan-bahan pokok yang kualitasnya baik dengan kualitas buruk, dengan demikian keuntungan perorangan terjadi juga. Kesemuanya ini bertentangan sekali dengan cita-cita berkoperasi. Tidaklah mengherankan kalau pada waktu itu koperasi yang dapat hidup subur ialah koperasi konsumsi.
c. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1960:
Satu-satunya hal yang menonjol, dalam arti benar-benar bermanfaat bagi perkembangan koperasi pada masa itu ialah tentang peningkatan pendidikan koperasi seperti yang dituangkan dalam Instruksi Presiden no. 3 Tahun 1960. Dengan instruksi ini dilakukanlah:
- pendidikan koperasi untuk kader-kader masyarakat, untuk kader-kader di kalangan pejabat pemerintah, untuk pengadaan tenaga-tenaga pengajar dan pendirian Sekolah Koperasi Menengah Atas (SKOPMA) serta Akademi Koperasi.
- pemasukkan mata pelajaran koperasi di sekolah-sekolah sejak SD hingga SMTA.
Dengan ditingkatkannya pendidikan perkoperasian ini, baik pemerintah maupun gerakan-gerakan koperasi mengharapkan terciptanya insan-insan koperasi yang bermental tinggi, jujur, terampil, giat, dan bergairah kerja untuk meningkatkan usaha-usaha koperasi dalam mewujudkan kesejahteraan para anggotanya dan masyarakat di lingkungan daerah kerja koperasi masing-masing.
d. Musyawarah Nasional Koperasi ke-1 (MUNASKOP I):
Bertepatan dengan Hari Kartini (21 April 1961), dengan bertempat di Surabaya, telah diselenggarakan Musyawarah Nasional Koperasi ke-1, dengan tujuan untuk lebih menyempurnakan dan atau mensejalankan perkoperasian nasional (program dan organisasinya) dengan garis-garis/langkah-langkah ekonomi terpimpinnya Bung Karno. Dewan Koperasi Indonesia yang telah berdiri sejak tahun 1953 dibubarkan dan diganti dengan Kesatuan Organisasi Koperasi (KOKSI). Tentang KOKSI ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Ketua KOKSI daerah tingkat I adalah Gubernur, sedang ketua KOKSI daerah tingkat II adalah Bupati/ Walikota, masing-masing bertindak sebagai penanggungjawab atas terintegrasinya gerakan koperasi dengan garis-garis kebijaksanaan pemerintah, dengan demikian jelas makin mendalamnya campur-tangan pemerintah terhadap urusan intern koperasi.
- Selain KOKSI dalam gerak langkahnya lebih miring atau lebih sering mengadakan hubungan dengan gerakan-gerakan koperasi di negara-negara komunis, juga Nasakom dimasukkan dalam tubuh organisasi koperasi yang berarti pertentangan partai-partai politik telah berlangsung pula dalam tubuh perkoperasian.
e. Musyawarah Nasional Koperasi ke-II (MUNASKOP II):
Dengan bertempat di Jakarta, pada bulan Agustus 1965 telah diselenggarakan Musyawarah Nasional Koperasi ke-II. Ternyata Munaskop II lebih menghancurkan ideologi koperasi Indonesia yang murni, karena hadirnya para utusan daerah-daerah ke Munaskop ini pada hakekatnya hanya diperlukan untuk pengesahan keputusan-keputusan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu, keputusan yang lebih bersifat politis. Cara demikian jelas bukan musyawarah dan mufakat seperti yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 atau Pancasila, tetapi merupakan pendiktean.
Berbarengan dengan diselenggarakannya Munaskop II, Presiden Soekarno telah mensahkan Undang-Undang Koperasi nomor 14 Tahun 1965. Pengertian koperasi menurut UU Koperasi yang baru ini adalah demikian:
"Koperasi adalah organisasi Ekonomi dan Alat Revolusi yang berfungsi sebagai tempat pesemaian insan masyarakat serta wahan menuju sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila". Pada hakekatnya, walaupun dalam pengertian ini dicantumkan Pancasila sebagai dasar perkoperasian Indonesia, tetapi isi dan jiwanya UU ini mengandung hal-hal yang bertentangan dengan azas-azas pokok, landasan kerja serta landasan idiil koperasi (Pancasila) itu sendiri. Pengertian koperasi yang demikian jelas akan menghambat kehidupan dan perkembangan koperasi serta mengaburkan hakekat koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang demokratis dan berwatak sosial.
Dari pengertian UU yang baru ini terlihat jelas peranan pemerintah yang terlalu jauh mengatur masalah perkoperasian Indonesia, yang pada hakekatnya tidak bersifat melindungi, bahkan sangat membatasi gerak serta pelaksanaan strategi dasar perekonomian, tidak sesuai dengan jiwa dan makna pasal 33 UUD 1945, menghambat langkah serta membatasi sifat-sifat keswadayaan, keswasembadaan serta keswakertaan yang merupakan unsur pokok dari azas-azas percaya pada diri sendiri. Jadi pengertian seperti di atas akan dapat merugikan masyarakat perkoperasian, kalau dipaksakan berlakunya.
Ternyata pada masa itu banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan baik politis maupun materiil, pemaksaan wewenang maupun korupsi yang dilakukan para petugas maupun pengurus koperasi. Bukannya koperasi yang sehat yang terwujud melainkan koperasi yang ingkar terhadap hakikinya.
Demikian pembahasan mengenai Pertumbuhan dan perkembangan Koperasi pada Kurun Waktu 1959-1965, semoga memberikan manfaat bagi pembaca sekalian.
0 komentar:
Post a Comment